Wednesday, April 4, 2012

TUGAS 3

Antiklimaks Kebijakan BBM
Kenaikan harga BBM yang rencananya berlaku 1 April 2012, gagal dilaksanakan. Melalui rapat paripurna, DPR memutuskan tambahan Pasal 7 ayat 6a pada UU No 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012. Intinya, pemerintah baru boleh mengubah harga BBM jika harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) mengalami perubahan sebesar 15 persen selama enam bulan. Bagi pemerintah yang sudah bersiap-siap menaikkan harga BBM, keputusan tersebut menjadi sebuah antiklimaks. Bagi partai oposisi dan para demonstran yang menolak pilihan kenaikan BBM, tentu saja juga merupakan antiklimaks. Karena meskipun harga BBM tidak jadi naik dalam waktu dekat, tetapi tetap terbuka kemungkinan sewaktu- waktu harga BBM dinaikkan.
Meskipun pada ranah legislasi masih terbuka kemungkinan untuk mengajukan pembatalan Undang-Undang ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun faktanya RAPBN-P 2012 sudah disetujui. Persoalannya, bagaimana tindak lanjut putusan tersebut? Ada dua pilar pokok yang harus diperhatikan. Pertama, membenahi politik anggaran. Kedua, mengubah arah kebijakan energi. Tanpa menggarap kedua pilar tersebut, dalam jangka menengah dan panjang, kita akan terus-menerus diombang-ambingkan oleh fluktuasi harga minyak di pasar dunia.
Politik Anggaran

Sebenarnya, pemerintah juga berada pada posisi sulit. Karena, asumsi APBN-P 2012 dengan nilai subsidi BBM Rp137 triliun dan subsidi listrik Rp64,9 triliun itu disusun dengan skenario harga BBM naik sebesar Rp1.500. Jika harga BBM tidak bisa dinaikkan dalam waktu dekat, maka pemerintah harus menutup besaran subsidi dari pos lain. Pilihannya, dengan melakukan efisiensi pada Kementrian dan Lembaga (K/L). Meskipun begitu, jangan sampai kebijakan efisiensi anggaran tersebut justru kontraproduktif terhadap perekonomian. Karena fungsi belanja pemerintah sejatinya untuk menstimulus perekonomian.

Sehingga, jika pemotongan anggaran dilakukan, kemampuan K/L untuk memompa perekonomian menjadi terbatas. Sebaiknya pemerintah melakukan kajian terhadap kinerja K/L, dan menentukan tolok ukur keberhasilan penggunaan anggaran. Semakin buruk K/L dalam penyerapan anggaran, semakin besar potongan yang dilakukan.

Dengan begitu, efisiensi dilakukan dengan berbasis pada kinerja K/L. Selain itu, pemerintah juga bisa menggunakan Sisa Anggaran Lebih (SAL) 2010 sebesar Rp51 triliun. Atau hasil dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp25 triliun.

Secara umum, paling tidak ada dua beban besar pemerintah terhadap APBN-P 2012. Pertama, anggaran harus menjadi instrumen untuk menjaga momentum pertumbuhan yang disepakati sebesar 6,5 persen pada tahun ini. Jika pemerintah gagal memformulasikan kebijakan fiskal yang handal, maka tidak menutup kemungkinan asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN-P 2012 tidak bisa dicapai. Dan itu akan menjadi catatan tersendiri bagi pertanggungjawaban presiden terhadap DPR.

Harus diakui, tantangan global masih belum boleh diremehkan. Meskipun perekonomian Amerika Serikat (AS) sudah mulai stabil, tetapi masih jauh dari posisi aman. Perekonomian AS memang tidak lagi muram (gloom), tetapi juga belum ceria betul (boom). Atau istilahnya, less gloom but no boom.

Begitu pun kawasan Uni-Eropa. Meskipun mereka hampir mencapai kesepakatan untuk mengumpulkan dana talangan hingga mencapai 1 triliun euro, tetapi berbagai kemungkinan buruk masih tetap bisa terjadi. Tantangan fiskal kedua, terkait besaran defisit.

Sebagaimana diatur UU, defisit anggaran tidak boleh melewati tiga persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Sebenarnya, prinsip ini mengikuti ketentuan yang diadopsi oleh negara-negara Uni-Eropa, atau yang dikenal sebagai Traktat Maastricht. Sekarang ini, posisi defisit anggaran pusat sebesar 2,23 persen. Jika dikonsolidasikan dengan defisit pemerintah daerah (APBD), maka besaran defisit kurang lebih 2,8 persen. Artinya, sulit menutup anggaran dengan penerbitan utang baru.

Politik Energi

Kapan pemerintah berhak menaikkan harga BBM? Dengan penambahan pasal 7 ayat 6a tersebut, pemerintah baru bisa menaikkan harga BBM jika harga rata-rata ICP sudah mencapai USD120,75 per barel.

Dengan asumsi harga minyak ICP sebesar USD105, maka rumusnya 105 + (105x15 persen) = USD120,75. Jika dihitung mulai Oktober 2011 hingga akhir Maret 2012, rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) sudah berada pada harga USD116 per barel.

Sebenarnya, skenario awal versi pemerintah yang mengusulkan kenaikan harga BBM sebesar Rp1.500 per liter (atau 33,3 persen) bukanlah sesuatu yang baru. Kita pernah mengalami beberapa kali kebijakan menaikkan harga BBM.Pada Mei 2008 pemerintah juga melakukan kebijakan menaikkan harga BBM sebesar 31 persen.

Bahkan pada 2005, kenaikan dilakukan dua kali, Maret dan Oktober. Sehingga, besaran kenaikannya sepanjang tahun mencapai tiga kali lipat atau sebesar 96,1 persen. Dampak inflasi yang ditimbulkannya pun sebenarnya tidak terlalu berat untuk tahun ini.

Menurut hitungan BPS, kenaikan harga BBM Rp1.500 per liter, dampak langsungnya pada inflasi sebesar 0,9 persen. Dan jika ditambah dengan dampak langsungnya (second round effect) sebesar dua kali dampak langsung, maka dampak inflasi tak langsungnya sebesar 1,8 persen.

Sehingga, total dampaknya mencapai 2,7 persen. Setelah dijumlahkan dengan asumsi inflasi pemerintah tahun ini sebesar 5,3 persen, maka didapat perkiraan inflasi sebesar tujuh persen.
 Versi Bank Indonesia (BI) hampir sama, yaitu jika kenaikan sebesar Rp1.000, inflasi tahun ini akan menjadi sekira 6,8 persen sementara jika kenaikannya Rp1.500, inflasi akan menjadi 7,1 persen.

Jika dibanding dengan periode yang lalu, secara ekonomi, kenaikan kali ini lebih baik. Artinya, dampak makroekonominya cenderung terjaga (manageable). Mengingat kondisi makro kita juga sedang dalam posisi bagus. Di tengah tarik-menarik soal harga BBM, nampaknya tidak akan mempengaruhi penilaian lembaga pemeringkat terhadap prospek perekonomian Indonesia. Standard & Poor’s (S&P) diproyeksikan akan memberikan predikat investment grade kepada kita, dalam beberapa bulan ke depan.

Sebagaimana diketahui, dua lembaga pemeringkat lainnya, yaitu Fitch Ratings dan Moody’s Investors Service, sudah memberikan predikat level investasi pada akhir tahun lalu dan awal tahun ini. Jika ketiga lembaga pemeringkat paling besar dunia sudah memberikan predikat tersebut, niscaya modal asing akan semakin deras masuk ke Indonesia, sehingga bunga pinjaman surat utang bisa semakin turun. Dengan demikian, semakin tersedia alternatif pendanaan pembangunan. Momentum tersebut harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemerintah. Salah satunya, untuk mengembangkan politik energi yang baik. Selama ini kita terlalu bertumpu pada energi fosil.
Sementara, potensi sumber daya alternatif terbuka sangat lebar, karena Indonesia kaya akan akan sumber daya air, angin dan cahaya matahari. Energi panas bumi (geotermal), merupakan salah satu alternatif yang paling mungkin dikembangkan, mengingat potensi panas bumi Indonesia diperkirakan sebesar 28 riub megawatt, sekira 40 persen dari potensi dunia. Nilai tersebut sama dengan 1,1 juta barel minyak per hari.
Jika energi panas bumi dikembangkan, paling tidak bisa untuk menghidupi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di daerah Jawa-Bali dan Sumatra. Sehingga, tak menggantungkan pada sumber daya solar dan batu bara.Saat ini, kapasitas terpasang PLTP baru sebesar 1.214 MW. Sudah saatnya pemerintah mengembangkan strategi "bauran energi", yang bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan sumber daya energi, sekaligus menurunkan ketergantungan pada BBM.

TUGAS 1 DAN 2

TUGAS PERTAMA

1.      Jelaskan mata pencaharian penduduk berdasarkan Indonesia buatlah dalam bentuk presentase
Jawab  :
Lapangan Pekerjaan 1990 2000
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
pertanian 35.747.447 50,40% 40.676.713 45,28%
industri 8.177.429 11,53% 11.641.756 12,96%
bangunan 2.927.025 4,13% 3.497.232 3,89%
perdagangan 10.540.315 14,86% 18.489.005 20,58%
angkutan 2.618.958 3,69% 4.553.855 5,07%
keuangan 682.548 0,96% 882.600 0,98%
jasa 9.344.991 13,17% 9.574.009 10,66%
pertambangan 712.471 1%
0%
listrik 140.264 0,20%
0%
lainnya 43.019 0,06% 522.560 0,58%
Sumber: Keadaan Angkatan Kerja Indonesia 2001 dan 1990. BPS
1.      Jelaskan sumber daya manusia / SDM yang terkait tentang   :
a.       Laju pertumbuhan penduduk       
b.      Penyebaran penduduk                 
c.       Angkatan kerja                             
d.      Sistem pendidikan                       

Jawab
a.       Laju pertumbuhan penduduk   : meningkatkan program keluarga berencana (KB) guna mengendalikan laju pertumbuhan penduduk, sekaligus meningkatkan keluarga yang memiliki sumber daya manusia (SDM) berkualitas.

b.      Penyebaran penduduk  : Persebaran penduduk di Indonesia tidak merata baik persebaran antara pulau, propinsi, kabupaten maupun antara perkotaan dan pedesaan, persebaran penduduk antara kota dan desa juga mengalami ketidakseimbangan.

 
c.       Angkatan kerja    :  tenaga kerja merupakan sumber daya manusia yang sangat berharga bagi suatu wilayah karena menjadi salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi suatu kecamatan. Dengan jumlah penduduk dan tenaga kerja yang lebih besar, maka suatu wilayah memiliki pasar yang lebih besar pula apalgi jika ditunjang oleh kualitas SDM yang memadai seperti para buruh.

d.  Sistem pendidikan  : sumber daya manusia (SDM) Indonesia terkait dengan sistem pendidikan Indonesia yang diarahkan pada tercapainya cita-cita pendidikan yang ideal dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat. Karena itu pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan yang berakar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional Indonesia.

TUGAS KEDUA

1.      Terangkan betapa pentingnya investasi dalam proses pembangunan di Indonesia dan upaya-upaya apa yang dapat ditempuh guna membantu memenuhi kebutuhan dana investasi pembangunan di Indonesia

Jawab  :

Investasi dalam proses pembangunan  di Indonesia sangat penting karena melakukan investasi secara langsung pada sector rill yang dilakukan oleh masyarakat bisnis dan industri rumah tangga meningkat tajam baik disektor pertanian, perikanan, pertambangan konstruksi, industri pengolahan, industri berat, jasa keuangan dan perbankan, serta pada sektor-sektor jasa lainnya dan dengan kehadirannya FDI dapat mendorong timbulnya industri pasokan bahan baku local, proses alih teknologi dan manajemen serta manfaat bagi investor lokal. Dengan berkembangnya kolaborasi yang saling menguntungkan dan terjalin antar investor asing dengan kalangan pembisnis lokal. Dengan berkembangnya investasi langsung dapat memberikan manfaat yang positif, seperti lapangan pekerjaan dimana dengan satu persen laju pertumbuhan dalam perekonomian nasional dapat secara langsung memberikan tambahan lapangan kerja antara 700-800 orang bekerja.
Upaya yang dapat ditempuh dengan menarik minat investor asing untuk menanam modalnya di Indonesia , pemerintah terus meningkatkan kegiatan promosi baik melalui pengiriman utusan keluar negri maupun peningkatan kerja sama antara pihak swasta nasional dengan swasta asing, pemerintah harus menjaga kestabilan perekonomian salah satunya dengan menjaga inflasi.

TERJADINYA KRISIS MONETER ( tulisan 3)

BAB I
PENDAHULUAN
Moneter adalah instrument yang digunakan pemerintah untuk mengatur jumlah mata uang yang beredar dan menentukan suku bunga yang berlaku.
Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi yang berdampak buruk pada Negara dan rakyatnya. Krisis ini terjadi dari awal 1998. Sejak era orde baru mulai terlihat kondisi Indonesia terus mengalami kemerosotan, terutama dalam bidang ekonomi. Tingginya krisis ekonomi ini diindikasikan dengan laju inflasi yang cukup tinggi. Sebagai dampak atas infalsi, terjadi penurunan tabungan, berkurangnya investasi, semakin banyak modal yang dilarikan ke luar negeri, serta terhambatnya pertumbuhan ekonomi.
Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di Negara Indonesia. Pada tahun 1998, presiden Soeharto memecat Gubernur Bank Indonesia,tapi ini tidak cukup berjalan baik. Soehartopun dipaksa mundur sebagai presiden Indonesia pada pertengahan 1998 setelah sebelumnya terjadi kerusuhan. Inilah Puncak terjadinya Krisis Moneter di Indonesia. Mundurnya Soeharto diperkirakan dapat meredakan krisis moneter, akan tetapi juga tidak dapat berhasil. Rupiah tetap Rp. 11.000/Dollar. Kecenderungan melemahnya rupiah semakin menjadi ketika terjadi penembakan mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 dan aksi penjarahan pada tanggal 14 Mei 1998. kurs Rupiah terjun bebas mencapai Rp. 17.000/Dollar AS paling rendah dalam sejarah.
 
BAB II
PEMBAHASAN
KRISIS moneter Indonesia berawal dari kebijakan Pemerintah Thailand di bulan Juli 1997 untuk mengembangkan mata uang Thailand Bath terhadap Dollar US. Selama itu mata uang Bath dan Dollar US dikaitkan satu sama lain dengan suatu kurs yang tetap. Devaluasi mendadak dari Bath ini menimbulkan tekanan terhadap mata-mata uang Negara ASEAN dan menjalarlah tekanan devaluasi di wilayah ini.
Sementara ini telah berlangsung hampir dua tahun dan telah berubah menjadi krisis ekonomi, yakni lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang dan terparah selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak.
Pada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 milyar dolar, dan sektor bank yang baik.
Krisis yang melanda bangsa Indonesia, menjadi awal terpuruknya sebuah negara dengan kekayaan alam yang melimpah ini. Dari awal 1998, sejak era orde baru mulai terlihat kebusukannya Indonesia terus mengalami kemerosotan, terutama dalam bidang ekonomi. Nilai tukar semakin melemah, inflasi tak terkendali, juga pertumbuhan ekonomi yang kurang berkembang di negara ini.
Indonesia, yang mengikuti sistim mengambang terkendali, pada awalnya bertahan dengan memperluas band pengendalian/intervensi, namun di medio bulan Agustus 1997 itu terpaksa melepaskan pengendalian/intervensi melalui sistim band tersebut. Rupiah langsung terdevaluasi. Dalam bulan September/Oktober 1997, Rupiah telah terdevaluasi dengan 30% sejak bulan Juli 1997. Dan di bulan Juli 1998 dalam setahun, Rupiah sudah terdevaluasi dengan 90%, diikuti oleh kemerosotan IHSG di pasar modal Jakarta dengan besaran sekitar 90% pula dalam periode yang sama. Dalam perkembangan selanjutnya dan selama ini, ternyata Indonesia paling dalam dan paling lama mengalami depresi ekonomi. Di tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot menjadi 13,7% dari pertumbuhan sebesar +4,9% di tahun sebelumnya (1997). Atau jatuh dengan 18,6% dalam setahun.
Pada Juli, Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran floating teratur ditukar dengan pertukaran floating-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September. Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di negara ini. Pada Februari 1998, Presiden Suharto memecat Gubernur Bank Indonesiaa, tapi ini tidak cukup. Suharto dipaksa mundur pada pertengahan 1998 dan B.J. Habibie menjadi presidenSampai 1996, Asia menarik hampir setengah dari aliran modal negara berkembang. Tetapi, Thailand, Indonesia dan Korea Selatan memiliki “current account deficit” dan perawatan kecepatan pertukaran pegged menyemangati peminjaman luar dan menyebabkan ke keterbukaan yang berlebihan dari resiko pertukaran valuta asing dalam sektor finansial dan perusahaan.
Pelaku ekonomi telah memikirkan akibat Daratan Tiongkok pada ekonomi nyata sebagai faktor penyumbang krisis. RRT telah memulai kompetisi secara efektif dengan eksportir Asia lainnya terutaman pada 1990-an setelah penerapan reform orientas-eksport. Yang paling penting, mata uang Thailand dan Indonesia adalah berhubungan erat dengan dollar, yang naik nilainya pada 1990-an. Importir Barat mencari pemroduksi yang lebih murah dan menemukannya di Tiongkok yang biayanya rendah dibanding dollar.
Krisis Asia dimulai pada pertengahan 1997 dan mempengaruhi mata uang, pasar bursa dan harga aset beberapa ekonomi Asia Tenggara. Dimulai dari kejadian di Amerika Selatan, investor Barat kehilangan kepercayaan dalam keamanan di Asia Timur dan memulai menarik uangnya.
Banyak pelaku ekonomi, termasuk Joseph Stiglitz dan Jeffrey Sachs, telah meremehkan peran ekonomi nyata dalam krisis dibanding dengan pasar finansial yang diakibatkan kecepatan krisis. Kecepatan krisis ini telah membuat Sachs dan lainnya untuk membandingkan dengan pelarian bank klasik yang disebabkan oleh shock resiko yang tiba-tiba. Sach menunjuk ke kebijakan keuangan dan fiskal yang ketat yang diterapkan oleh pemerintah pada saat krisis dimulai, sedangkan Frederic Mishkin menunjuk ke peranan informasi asimetrik dalam pasar finansial yang menuju ke “mental herd” diantara investor yang memperbesar resiko yang relatif kecil dalam ekonomi nyata. Krisis ini telah menimbulkan keinginan dari pelaksana ekonomi perilaku tertarik di psikologi pasar.
Sebagai konsekuensi dari krisis moneter ini, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus
1997 terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dollar
AS, dan membiarkannya berfluktuasi secara bebas (free floating) menggantikan sistim managed floating yang dianut pemerintah sejak devaluasi Oktober 1978. Dengan demikian Bank Indonesia tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menopang nilai
tukar rupiah, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar semata. Nilai tukar rupiah
kemudian merosot dengan cepat dan tajam dari rata-rata Rp 2.450 per dollar AS Juni 1997
menjadi Rp 13.513 akhir Januari 1998, namun kemudian berhasil menguat kembali menjadi
sekitar Rp 8.000 awal Mei 1999.
Tetapi yang utama karena utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sektor rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya. Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar. Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi Indonesia tidak akan mengalami krisis. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab lainnya yang datangnya saling bersusulan.
Penyebab utama dari terjadinya krisis yang berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangat tajam, meskipun ini bukan faktor satu-satunya, tetapi ada banyak faktor lainnya yang berbeda menurut sisi pandang masing-masing pengamat.
Berikut ini diberikan rangkuman dari berbagai faktor tersebut menurut urutan kejadiannya:
1.   Dianutnya sistim devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai, memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas berapapun jumlahnya.
2.      Tingkat depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8% (1991) antara tahun 1988 hingga 1996, yang berada di bawah nilai tukar nyatanya, menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued. Ditambah dengan kenaikan pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif lebih cepat dari kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan produk dalam negeri yang makin lama makin kalah bersaing dengan produk impor.
3.      Akar dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya ditambah sistim perbankan nasional yang lemah.
Ada tiga pihak yang bersalah di sini, pemerintah, kreditur dan debitur. Kesalahan pemerintah adalah, karena telah memberi signal yang salah kepada pelaku ekonomi dengan membuat nilai rupiah terus-menerus overvalued dan suku bunga rupiah yang tinggi, sehingga pinjaman dalam rupiah menjadi relatif mahal dan pinjaman dalam mata uang asing menjadi relatif murah. Sebaliknya, tingkat bunga di dalam negeri dibiarkan tinggi untuk menahan pelarian dana ke luar negeri dan agar masyarakat mau mendepositokan dananya dalam rupiah. Selain itu pemerintah sama sekali tidak melakukan pengawasan terhadap utang-utang swasta luar negeri ini, kecuali yang berkaitan dengan proyek pemerintah dengan dibentuknya tim PKLN. Pihak kreditur luar negeri juga ikut bersalah, karena kurang hati-hati dalam memberi pinjaman dan salah mengantisipasi keadaan. Jadi sudah sewajarnya, jika kreditur luar negeri juga ikut menanggung sebagian dari kerugian yang diderita oleh debitur.
4.      Permainan yang dilakukan oleh spekulan asing (bandingkan juga Ehrke: 2-3) yang dikenal sebagai hedge funds tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena praktek margin trading, yang memungkinkan dengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar. Dewasa ini mata uang sendiri sudah menjadi komoditi perdagangan, lepas dari sektor riil.
5.      Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistim nilai tukar dengan pita batas intervensi. Sistim ini menyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar rupiah dan mengundang tindakan spekulasi ketika sistim batas intervensi ini dihapus pada tanggal 14 Agustus 1997.
6.      Defisit neraca berjalan yang semakin membesar (IMF Research Department Staff: 10; IDE), yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar dari ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama adalah nilai tukar rupiah yang sangat overvalued, yang membuat harga barang-barang impor menjadi relatif murah dibandingkan dengan produk dalam negeri.
7.      Penanam modal asing portfolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran dimingimingi keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif stabil kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar.
8.      IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran dana bantuan yang dijanjikannya dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan dengan baik. Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu Indonesia juga menunda mengucurkan bantuannya menunggu signal dari IMF, padahal keadaan perekonomian Indonesia makin lama makin tambah terpuruk.
9.      Spekulan domestik ikut bermain. Para spekulan inipun tidak semata-mata menggunakan dananya sendiri, tetapi juga meminjam dana dari sistim perbankan untuk bermain.
10.  Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu membeli dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bisa menarik keuntungan dari merosotnya nilai tukar rupiah.
Di lain pihak harus diakui bahwa sektor riil sudah lama menunggu pembenahan yang mendasar, namun kelemahan ini meskipun telah terakumulasi selama bertahun-tahun masih bisa ditampung oleh masyarakat dan tidak cukup kuat untuk menjungkir-balikkan perekonomian Indonesia seperti sekarang ini. Memang terjadi dislokasi sumber-sumber ekonomi dan kegiatan mengejar rente ekonomi oleh perorangan/kelompok tertentu yang menguntungkan mereka ini dan merugikan rakyat banyak dan perusahaan-perusahaan yang efisien. Subsidi pangan oleh BULOG, monopoli di berbagai bidang, penyaluran dana yang besar untuk proyek IPTN dan mobil nasional. Timbulnya krisis berkaitan dengan jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS secara tajam, yakni sektor ekonomi luar negeri, dan kurang dipengaruhi oleh sektor riil dalam negeri, meskipun kelemahan sektor riil dalam negeri mempunyai pengaruh terhadap melemahnya nilai tukar rupiah. Membenahi sektor riil saja, tidak memecahkan permasalahan.
Krisis pecah karena terdapat ketidak seimbangan antara kebutuhan akan valas dalam jangka pendek dengan jumlah devisa yang tersedia, yang menyebabkan nilai dollar AS melambung dan tidak terbendung. Sebab itu tindakan yang harus segera didahulukan untuk mengatasi krisis ekonomi ini adalah pemecahan masalah utang swasta luar negeri, membenahi kinerja perbankan nasional, mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap kemampuan ekonomi Indonesia, menstabilkan nilai tukar rupiah pada tingkat yang nyata, dan tidak kalah penting adalah mengembalikan stabilitas sosial dan politik.
DAMPAK KRISIS MONETER
Berbagai dampak Krisis Moneter timbul di Indonesia. Krisis Moneter membawa dampak yang kurang baik bagi Indonesia, ini disebabkan karena kurs nilai tukar valas, khususnya dollar AS, yang melambung tinggi jika dihadapkan dengan pendapatan masyarakat dalam rupiah tetap. Dampak yang terlihat seperti : Banyak perusahaan yang terpaksa mem-PHK pekerjanya dengan alasan tidak dapat membayar upah para pekerjanya. Sehingga menambah angka pengangguran di Indonesia. Pemerintah kesulitan menutup APBN. Harga barang yang naik cukup tinggi, yang mengakibatkan masyrakat kesulitan mendapat barang-barang kebutuhan  pokoknya. Utang luar negeri dalam rupiah melonjak. Harga BBM naik.
Kemiskinan juga termasuk dampak krisis moneter. Pada oktober 1998 jumlah keluarga miskin di perkirakan sekitar 7.5 juta. Meningkatnya jumlah penduduk yang miskin tidak terlepas dari jatuhnya nilai mata uang rupiah yang tajam, yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara penghasilan yang berkurang akibat PHK atau naik sedikit dengan pengeluaran yang meningkat tajam karena tingkat inflasi yang tinggi.
Disaat krisis itu terjadi banyak pejabat yang melakukan korupsi. Sehingga mengurangi pendapatan para pekerja yang lain. Banyak perusahaan yang meminjam uang pada perusahaan Negara asing dengan tingkat bunga yang lumayan tinggi, hal itu menambah beban utang Negara. Pada sisi lain merosotnya  nilai tukar rupiah juga membawa hikmah. Secara umum impor barang menurun tajam. Sebaliknya arus masuk turis asing akan lebih besar, daya saing produk dalam negeri dengan tingkat kandungan impor rendah meningkat sehingga bisa menahan impor dan merangsang ekspor khususnya yang berbasis pertanian.
Dampak dari krisis moneter lebih banyak yang negative dibandingkan dampak positifnya. Itu di karenakan krisis ini mengganggu kesejahteraan masyarakat.
BAB III
KESIMPULAN
Krisis ekonomi yang di alami Indonesia telah berlangsung hampir dua tahun dan telah berubah menjadi krisis ekonomi, yakni lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Pada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 milyar dolar, dan sektor bank yang baik.
Krisis yang melanda bangsa Indonesia, menjadi awal terpuruknya sebuah negara dengan kekayaan alam yang melimpah ini. Dari awal 1998, sejak era orde baru mulai terlihat kebusukannya Indonesia terus mengalami kemerosotan, terutama dalam bidang ekonomi. Nilai tukar semakin melemah, inflasi tak terkendali, juga pertumbuhan ekonomi yang kurang berkembang di negara ini. Penyebab utama dari terjadinya krisis yang berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangat tajam, meskipun ini bukan faktor satu-satunya, tetapi ada banyak faktor lainnya yang berbeda menurut sisi pandang masing-masing pengamat.
Berbagai dampak Krisis Moneter timbul di Indonesia. Krisis Moneter membawa dampak yang kurang baik bagi Indonesia diantaranya adalah Banyak perusahaan yang terpaksa mem-PHK pekerjanya dengan alasan tidak dapat membayar upah para pekerjanya. Sehingga menambah angka pengangguran di Indonesia. Pemerintah kesulitan menutup APBN. Harga barang yang naik cukup tinggi, yang mengakibatkan masyrakat kesulitan mendapat barang-barang kebutuhan  pokoknya. Utang luar negeri dalam rupiah melonjak. Harga BBM naik. Maka dari itu dibutuhkan kemampuan Pemerintah untuk mengatur perekonomian Indonesia.
BAB IV
PENUTUP
Daftar Pustaka :

Perkembangan Sistem Pembayaran Dan Pengedaran Uang di Indonesia (tulisan 2)

BAB I
PENDAHULUAN
Dinamika kehidupan masyarakat dewasa ini, telah melahirkan pola pemikiran baru yang turut berkembang seiring dengan kemajuan zaman. Ketika mekanisme pembayaran dituntut untuk selalu mengakomodir setiap kebutuhan masyarakat dalam hal perpindahan dana secara cepat, aman dan efisien, maka inovasi-inovasi teknologi pembayaran semakin bermunculan dengan sangat pesat. Memberikan  jawaban dengan berbagai fasilitas kemudahan dan semakin tiada batas.
Bank Indonesia dituntut untuk selalu memastikan bahwa setiap perkembangan sistem pembayaran harus selalu berada pada koridor ketentuan yang berlaku. Hal ini tentu saja demi kelancaran dan keamanan jalannya kegiatan sistem pembayaran. Berkaca pada kondisi tersebut, dan patut diingat bahwa perkembangan sistem pembayaran tidak pernah terpisahkan dengan inovasi-inovasi infrastruktur teknologi, maka perkembangan sistem pembayaran di Indonesia saat ini mengarah pada upaya penguatan infrastruktur dan pengembangan sistem dengan bertopang pada kemajuan teknologi informasi. 
Industri pembayaran baik yang melibatkan bank maupun lembaga selain bank berlomba-lomba melakukan pengembangan sistem pembayarannya. Bahkan saat ini peranan lembaga selain bank (LSB) di dalam penyelenggaraan sistem pembayaran semakin nyata dengan semakin banyaknya LSB yang melakukan kerjasama dengan perbankan baik sebagai penyedia jaringan dan tidak menutup kemungkinan sebagai penerbit dari instrumen-instrumen pembayaran tersebut. 
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Perkembangan Sistem Pembayaran Dan Pengedaran Uang di Indonesia
Pertumbuhan ekonomi tahun 2010 memberikan dampak terhadap peningkatan kegiatan perekonomian Indonesia selama tahun tersebut. Kegiatan ekonomi yang paling dominan meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi swasta domestik, meskipun kegiatan investasi dan perdagangan internasional (net ekspor) juga memberikan pengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut. Kegiatan ekonomi selama tahun 2010 tentunya sangat berpengaruh pada aktivitas sistem pembayaran. Nilai transaksi transfer dana yang melalui sistem pembayaran selama periode laporan meningkat dibanding tahun sebelumnya. Untuk nilai transaksi pembayaran selama tahun 2010 mencapai 58,05 ribu triliun atau meningkat 27,8% dibandingkan tahun 2009. Sementara itu volume transaksi pembayaran mencapai 2,14 miliar transaksi atau meningkat 15,46%.
Untuk mendukung lancarnya aktivitas pembayaran, inovasi-inovasi baru dalam sistem pembayaran banyak tercipta sebagai dampak positif dari perkembangan teknologi informasi. Hal ini tentunya bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi masyarakat pengguna. Namun demikian, diperlukan suatu kebijakan dari Bank Indonesia untuk selalu menjaga dan meningkatkan keamanan dan efisiensi dalam penyelenggaraan sistem pembayaran dengan tetap memperhatikan pemenuhan aspek perlindungan konsumen. Penguatan dari sisi infrastruktur menjadi fokus utama dalam pengembangan sistem pembayaran di tahun 2010. Persiapan mengahadapi era integrasi ekonomi di kawasan ASEAN melalui MEA terus dilakukan dan menjadi faktor utama dalam penguatan infrastruktur sistem pembayaran, baik sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia maupun oleh pihak di luar Bank Indonesia.
Selama periode laporan, kebijakan penguatan infrastruktur untuk meningkatkan keamanan dan efisiensi sistem pembayaran ditempuh oleh Bank Indonesia dengan melakukan beberapa pengembangan, antara lain pengembangan mekanisme Payment-versus-Payment(PvP) pada Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS), enhancement Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia(SKNBI) melalui penyempurnaan implementasi close to real timeFailure to Settle (FtS) pada mekanisme kliring debet dan persiapan penyusunan standar nasional untuk kartu ATM/Debet berbasis chip, dan inisiasi penyusunan standar nasional uang elektronik.
Selain kebijakan penguatan infrastruktur, pemenuhan aspek perlindungan konsumen juga merupakan concern Bank Indonesia. Hal ini dapat terlihat dengan telah diselesaikannya penyusunan Rancangan Undang-Undang Transfer Dana yang akan memberikan kepastian, keamanan dan kenyamanan masyarakat dalam melakukan transaksi transfer dana.Selanjutnya dalam rangka memperkuat kelembagaan industri sistem pembayaran di Indonesia, Bank Indonesia telah memfasilitasi pelaku industri sistem pembayaran dalam pendirian Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) dan Asosiasi Penyelenggara Pengiriman Uang Indonesia (APPUI). ASPI dan APPUI diharapkan mampu menjadi mitra strategis Bank Indonesia dalam menciptakan industri sistem pembayaran yang semakin handal.
Dari sisi pengawasan sistem pembayaran, pada periode laporan telah dilakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan sistem pembayaran. Obyek pengawasan dalam sistem pembayaran meliputi sistem yang dikategorikan sebagai Systemically Important Payment Systems (SIPS) maupun yang non SIPS. Ulasan mengenai pengawasan sistem pembayaran ini akan diuraikan pada Bab Peningkatan Keamanan dalam Kerangka Oversight Sistem Pembayaran.
Untuk satu tahun ke depan, kebijakan dan arah pengembangan sistem pembayaran akan tetap difokuskan pada upaya penataan infrastruktur sistem pembayaran dalam rangka meningkatkan keamanan dan efisiensi dalam sistem pembayaran, antara lain melalui penataan infrastruktur sistem pembayaran, pengembangan infrastruktur baru, enhancement sistem yang telah ada, serta penyusunan dan penyesuaian ketentuan terkait sistem pembayaran. Hal tersebut sangat penting agar kelancaran sistem pembayaran sebagai urat nadi perekonomian dapat terus terjaga.
Dari sisi pengedaran uang, penggunaan uang kartal oleh masyarakat menunjukkan peningkatan sebagaimana tercermin pada meningkatnya berbagai indikator pengedaran uang antara lain jumlah uang beredar (UYD) dan net aliran uang kartal yang keluar dari Bank Indonesia ke perbankan dan masyarakat (net outflow). Pada tahun 2010, pertumbuhan UYD rata-rata mencapai 12,1% yaitu dari Rp244,4 triliun menjadi Rp274,0 triliun, atau meningkat dari pertumbuhan UYD rata-rata tahun 2009 yang hanya sebesar 10,7%. Meskipun pertumbuhannya meningkat dibanding tahun 2009, laju pertumbuhan rata-rata UYD pada tahun 2010 tersebut masih dibawah angka historis sebelum krisis (2005-2008) yang berkisar antara 13,5% sampai 26,3%.
Strategi kebijakan pengedaran uang pada tahun 2010 diarahkan pada upaya untuk meningkatkan kehandalan pengedaran uang dan penyempurnaan kualitas uang, yang meliputi pemenuhan uang, optimalisasi layanan kas, pengelolaan uang dan pendistribusiannya, serta peningkatan pengamanan elemen dan unsur pengaman uang, serta kelayakan uang yang beredar di berbagai wilayah termasuk di daerah terpencil dan terdepan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berbagai kebijakan di bidang pengedaran uang tersebut tetap mengacu pada tiga pilar manajemen pengedaran uang yaitu 1) ketersediaan uang Rupiah yang berkualitas, 2) layanan kas prima, dan 3) pengedaran uang yang aman, handal, dan efisien.
Ke depan, kebutuhan uang kartal diperkirakan masih akan meningkat sejalan dengan proyeksi pertumbuhan perekonomian sebesar 6,0 - 6,5% pada tahun 2011. Proyeksi jumlah uang kartal yang keluar dari Bank Indonesia ke perbankan dan masyarakat (outflow) pada tahun 2011 diperkirakan meningkat 9% dibandingkan tahun 2010, dengan perkiraan tambahan uang kartal yang beredar sekitar 15%. Mempertimbangkan potensi peningkatan kegiatan pengedaran uang tersebut, prioritas arah kebijakan Bank Indonesia di bidang pengedaran uang tersusun dalam tiga rancangan kebijakan yaitu 1) peningkatan kualitas uang yang beredar di masyarakat dan pemenuhan permintaan uang sesuai dengan jenis pecahan yang dibutuhkan oleh masyarakat/perbankan; 2) peningkatan efektivitas operasional kas di Bank Indonesia dan perbankan; serta 3) pengembangan layanan kas Bank Indonesia dengan mengikutsertakan peran perbankan dan instansi terkait.
Bank Indonesia sebagai penyelenggara kegiatan setelmen transaksi-transaksi melalui Sistem Bank Indonesia (BI-RTGS), Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), dan Bank Indonesia Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) juga terus berupaya memperbaiki dan memperbaharui mekanisme sistem yang ada agar selalu efisien, aman dan sejalan dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat yang selalu berkembang. Semuanya itu nantinya akan mengarah kepada persiapan teknologi pembayaran Indonesia dalam menghadapi rencana integrasi ekonomi global di kawasan ASEAN pada tahun 2015 yang juga menjadi faktor pendorong penguatan infrastruktur dan pengembangan sistem yang bernilai besar sampai kepada ritel.
Masyarakat pun dihadapkan pada berbagai macam pilihan instrumen pembayaran. Uang tunai tetap menjadi primadona dalam setiap kegiatan transaksi pembayaran. Namun instrumen pembayaran berbasis kertas paper based dan juga card based serta electronic based juga tak kalah menariknya dan semakin menjadi pilihan bagi masyarakat dalam melakukan transaksi. Tren pergeseran dari penggunaan paper based instrument seperti cek dan bilyet giro ke penggunaan card based dan electronic based instrument terlihat dari semakin terbiasanya masyarakat menggunakan alat pembayaran seperti kartu kredit, kartu ATM/Debet, transfer elektronik melalui kliring dan Real Time Gross Settlement (RTGS), Scripless Securities Settlement System (SSSS), uang elektronik baik yang berbentuk kartu(card based) maupun server based, pembayaran melalui saluran internet banking mobile payment dan fitur-fitur turunan lainnya. Walaupun tak dapat dipungkiri, ada segmen masyarakat tertentu yang masih atau lebih nyaman menggunakan cek/Bilyet Giro (BG).
Penguatan infrastruktur tersebut tercermin dimana Bank Indonesia sebagai penyelenggara sistem pembayaran mulai mengoperasikan layanan setelmen Payment-versus-Payment (PvP) pada Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS). Layanan penyelesaian setelmen dari transaksi jual beli valuta asing khususnya United States Dollar (USD) terhadap Indonesian Rupiah (IDR) dilakukan secara bersamaan. Hal ini untuk menghindari terjadinya risiko kegagalan setelmen pada saat pertukaran nilai uang dilakukan. Selain itu dengan kecenderungan transaksi pembayaran ke depan yang semakin tiada batas sudah barang tentu memunculkan kebutuhan likuiditas yang semakin tinggi bagi para pelaku ekonomi, antara lain munculnya ragam derivasi produk keuangan global dan hilangnya batasan wilayah ekonomi regional yang digagas melalui MEA maupun kerjasama regional lainnya. Selain PvP, penguatan infrastruktur lainnya adalah penyatuan penyelenggaraan fungsi setelmen surat berharga BI-SSSS ke dalam penyelenggaraan fungsi sistem pembayaran dan setelmen di Bank Indonesia (Sistem BI-RTGS). Penyatuan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi penyelenggaraan kegiatan setelmen dana dan surat berharga berikut infrastruktur dan sumber daya manusia yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas layanan Bank Indonesia kepada stakeholders terkait. 
 
Tak ketinggalan di sisi ritel, Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) yang merupakan sistem kliring. Penyempurnaan SKNBI dilakukan untuk meminimalkan risiko kredit pada kliring debet. Penerapan prinsip no money no game pada proses penghitungan kliring debet yang baru, menuntut bank untuk selalu menjaga kecukupan pendanaan awal agar dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban tagihan pembayaran dari bank lainnya. Hal ini mendorong bank peserta kliring untuk melakukan pengelolaan likuiditasnya secara lebih baik dan efisien. Masih di sisi pembayaran ritel, perkembangan industri pembayaran ritel diarahkan kepada penciptaan interoperability antar sistem yang digunakan demi terciptanya keamanan dan efisiensi sistem pembayaran. Standardisasi nasional instrumen kartu ATM/Debet adalah salah satunya. Dilatarbelakangi oleh isu keamanan bertransaksi dalam menggunakan kartu ATM/Debet, penggunaan teknologi chip pada kartu ATM/Debet diyakini dapat meminimalkan timbulnya kejahatan fraud pada kartu ATM/Debet. Selain itu, interoperability antar sistem juga diciptakan pada penyelenggaraan uang elektronik. Dengan semakin maraknya penggunaan uang elektronik di masyarakat yang sampai akhir 2010 mencapai Rp693,5 milyar, maka interoperability dilakukan dengan mulai menciptakan uang elektronik berbasis chip yang multipurpose. Multipurpose yang artinya satu kartu dapat digunakan untuk melakukan transaksi di berbagai toko atau penyedia barang dan jasa.
Penguatan sistem pembayaran tidak hanya dari sisi infrastruktur saja. Bank Indonesia juga memperkuat kelembagaan industri pembayaran dengan mendirikan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) dan Asosiasi Penyelenggara Pengiriman Uang (APPUI). ASPI dan APPUI diharapkan mampu menjadi mitra strategis Bank Indonesia dalam mendorong kondisi dan perilaku pasar yang kompetitif. Keberadaan ASPI tersebut juga diharapkan dapat menjadi motor penggerak dan pendukung utama kebijakan penataan infrastruktur sistem pembayaran di Indonesia yang digulirkan Bank Indonesia.
Tak ketinggalan dan tak kalah pentingnya, perkembangan setiap sisi sistem pembayaran harus memperhatikan aspek perlindungan konsumen. Implementasi penyelenggaraan perlindungan konsumen yang telah memasuki tahun ke-9 sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, secara umum masih belum optimal dirasakan manfaatnya oleh konsumen yang merupakan bagian dari masyarakat, khususnya manakala melakukan kegiatan transfer dana. Maka dari itu, Pemerintah dan Bank Indonesia sebagai regulator sistem pembayaran menggarap serius Rancangan Undang-Undang Transfer Dana (RUU Transfer Dana) yang diajukan oleh Pemerintah sebagai bentuk landasan dan perlindungan hukum yang setara bagi setiap pihak yang terlibat dalam kegiatan transfer dana termasuk kegiatan transfer dana antara penyelenggara dengan nasabahnya. Diharapkan dengan adanya UU Transfer Dana, masyarakat dapat dengan nyaman dan aman melakukan setiap aktivitas transfer dana yang kian hari kian meningkat. Nilai dan volume transaksi transfer dana di seluruh sistem pembayaran sampai dengan akhir 2010 masing-masing sebesar Rp58,1 ribu triliun 2,1 miliar transaksi.
Namun di sisi lain, di tengah-tengah perkembangan teknologi yang demikian pesat, tidak sedikit pula masyarakat Indonesia yang  lebih memilih melakukan pembayaran dengan menggunakan uang tunai. Budaya dan latar belakang masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih belum terjamah dengan produk-produk perbankan (remote area) maupun tidak merasa nyaman dengan teknologi pembayaran yang sarat akan isu keamanan, menjadikan uang tunai tetap menjadi primadona dalam setiap kegiatan transaksi pembayaran.
Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan uang kartal di masyarakat yang sampai dengan akhir 2010  mencapai Rp274,0 triliun. Hal ini merefleksikan masih banyaknya masyarakat yang memilih menggunakan uang kartal untuk keperluan transaksi ekonomi.  Masih cukup tingginya kebutuhan masyarakat terhadap uang Rupiah  perlu dibarengi dengan perencanaan kebutuhan dan pengadaan uang secara komprehensif termasuk ketepatan realisasinya; penyempurnaan unsur pengaman uang; kecepatan dan ketepatan layanan kas; kelancaran dan keamanan distribusi uang ke seluruh satuan kerja kas baik di KP dan KBI secara tepat waktu; serta optimalisasi pengelolaan uang kartal. 
Strategi kebijakan pengedaran uang pada tahun 2010 diarahkan pada upaya untuk meningkatkan kehandalan pengedaran uang dan penyempurnaan kualitas uang, yang meliputi pemenuhan uang, optimalisasi layanan kas, pengelolaan uang dan pendistribusiannya, serta peningkatan pengamanan elemen dan unsur pengaman uang, serta kelayakan uang yang beredar di berbagai wilayah termasuk di daerah terpencil dan terdepan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berbagai kebijakan di bidang pengedaran uang tersebut tetap mengacu pada tiga pilar manajemen pengedaran uang yaitu 1) ketersediaan uang Rupiah yang berkualitas, 2) layanan kas prima, dan 3) pengedaran uang yang aman, handal, dan efisien
Terkait dengan pengkinian unsur pengaman uang, pada tahun 2010 Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas pecahan Rp10.000 desain baru dan uang logam pecahan Rp1.000. Selain itu, upaya penanggulangan uang palsu tetap dilakukan baik secara preventif melalui berbagai sosialisasi dan edukasi keaslian uang Rupiah maupun secara represif melalui kerjasama dengan POLRI dalam meningkatkan koordinasi satuan tugas (satgas) pengungkapan kasus tindak pidana uang palsu dan saksi ahli.
Perilaku masyarakat untuk menyimpan uang logam hoarding menyebabkan perputaran uang logam di masyarakat maupun tingkat pengembalian uang logam ke perbankan dan Bank Indonesia menjadi terhambat. Untuk mengoptimalkan pengedaran/perputaran uang logam di masyarakat dan sebagai upaya perwujudan perlindungan konsumen, pada tanggal 31 Juli 2010 Bank Indonesia bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementrian Perdagangan Republik Indonesia dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), menandatangani Memorandum of Understanding atau Nota Kesepakatan tentang pencanangan kegiatan Gerakan Peduli Koin Nasional
Mempertimbangkan potensi peningkatan kegiatan pengedaran uang, prioritas arah kebijakan Bank Indonesia di bidang pengedaran uang tersusun dalam tiga rancangan kebijakan yaitu 1) peningkatan kualitas uang yang beredar di masyarakat dan pemenuhan permintaan uang sesuai dengan jenis pecahan yang dibutuhkan oleh masyarakat/perbankan; 2) peningkatan efektivitas operasional kas di Bank Indonesia dan perbankan; serta 3) pengembangan layanan kas Bank Indonesia dengan mengikutsertakan peran perbankan dan instansi terkait.
Strategi untuk meningkatkan efektivitas operasional kas di Bank Indonesia ke depan dilakukan antara lain dengan menyempurnakan sistem dan prosedur layanan kas yang bersifat customer oriented dan pengembangan sistem informasi layanan kas. Sementara itu pengembangan layanan kas diarahkan pada peningkatan kegiatan kas keliling dan kas titipan di daerah terpencil dan terdepan NKRI
Memperhatikan berbagai isu strategis tersebut, maka Kebijakan BI selama tahun 2010 difokuskan pada upaya untuk meningkatkan kehandalan uang Rupiah dan penyempurnaan kualitas uang dengan tetap mengacu pada tiga pilar manajemen pengedaran uang yaitu 1) Ketersediaan uang Rupiah yang berkualitas, 2) Layanan Kas Prima, dan 3) Pengedaran Uang yang aman, handal, dan efisien.
Dalam rangka mendukung ketersediaan uang Rupiah yang berkualitas, beberapa penerapan kebijakan meliputi penyusunan rencana kebutuhan uang termasuk rencana pengadaan dan realisasi pengadaan uang dan bahan uang, yang diikuti dengan pendistribusian uang ke berbagai wilayah secara tepat waktu. Selain itu terkait dengan pengkinian unsur pengaman uang, BI mengeluarkan dan mengedarkan Uang Kertas pecahan Rp10.000 desain baru dan uang logam pecahan Rp1.000. Clean money policy merupakan kebijakan BI untuk menjaga kualitas uang yang diedarkan melalui kegiatan pemusnahan uang dan melakukan pencabutan uang logam pecahan Rp25. Dari sisi penanggulangan uang palsu, BI tetap mengupayakan intensifikasi dan ekstensifikasi strategi komunikasi melalui sosialisasi dan edukasi ciri keaslian uang Rupiah kepada masyarakat baik secara langsung, melalui media, dan kerjasama dengan intansi terkait, karena terbukti cukup efektif dalam meningkatkan pemahaman masyarakat. Secara represif, dilakukan kerjasama dengan POLRI dalam meningkatkan koordinasi satuan tugas (satgas) pengungkapan kasus tindak pidana uang palsu dan saksi ahli. Berikut digambarkan perkembangan terkini dari berbagai jenis sistem pembayaran dan penyelenggaranya. 

Tabel pengembangan volume transaksi sistem pembayaran
 
BAB III
KESIMPULAN
Bank Indonesia dituntut untuk selalu memastikan bahwa setiap perkembangan sistem pembayaran harus selalu berada pada koridor ketentuan yang berlaku. Hal ini tentu saja demi kelancaran dan keamanan jalannya kegiatan sistem pembayaran. Industri pembayaran baik yang melibatkan bank maupun lembaga selain bank berlomba-lomba melakukan pengembangan sistem pembayarannya. Bahkan saat ini peranan lembaga selain bank (LSB) di dalam penyelenggaraan sistem pembayaran semakin nyata dengan semakin banyaknya LSB yang melakukan kerjasama dengan perbankan baik sebagai penyedia jaringan dan tidak menutup kemungkinan sebagai penerbit dari instrumen-instrumen pembayaran tersebut.
Pertumbuhan ekonomi tahun 2010 memberikan dampak terhadap peningkatan kegiatan perekonomian Indonesia selama tahun tersebut.  Untuk mendukung lancarnya aktivitas pembayaran, inovasi-inovasi baru dalam sistem pembayaran banyak tercipta sebagai dampak positif dari perkembangan teknologi informasi. Hal ini tentunya bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi masyarakat pengguna. Namun demikian, diperlukan suatu kebijakan dari Bank Indonesia untuk selalu menjaga dan meningkatkan keamanan dan efisiensi dalam penyelenggaraan sistem pembayaran dengan tetap memperhatikan pemenuhan aspek perlindungan konsumen.
Untuk satu tahun ke depan, kebijakan dan arah pengembangan sistem pembayaran akan tetap difokuskan pada upaya penataan infrastruktur sistem pembayaran dalam rangka meningkatkan keamanan dan efisiensi dalam sistem pembayaran, antara lain melalui penataan infrastruktur sistem pembayaran, pengembangan infrastruktur baru, enhancement sistem yang telah ada, serta penyusunan dan penyesuaian ketentuan terkait sistem pembayaran. Hal tersebut sangat penting agar kelancaran sistem pembayaran sebagai urat nadi perekonomian dapat terus terjaga.



BAB IV
PENUTUP
Daftar Pustaka